(BELAJAR) MENARIK DIRI
Bising. Kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan media sosial. Segalanya ada di sana. Mulai dari keadaan serba sempurna yang ditampilkan di instagram sampai keadaan kacau dan ruwet yang ditampilkan di twitter. Semua itu seakan-akan tidak ada tempat untuk keadaan yang biasa-biasa saja atau istilah kerennya mediocre. Padahal di kehidupan nyata segalanya berjalan biasa-biasa saja, tidak sesempurna instagram dan tidak seruwet twitter.
Saya, dalam banyak kesempatan bermedia sosial, sering melakukan hal yang impulsif. Berkomentar yang seringnya tidak penting dan cenderung trashy. Alih-alih berpikir dahulu “pentingkah saya berkomentar?”, “untuk tujuan apakah?”, “mengapa?”, “apa sebenarnya motivasi saya?”, “pantaskah?” — saya lebih sering berkicau tak terkontrol. Sampai akhirnya saya merasa lelah dan capek sendiri.
Sinyal darurat. Sepanjang hidup saya, yang memang belum panjang-panjang amat, lelah dan capek saya kenali sebagai sinyal darurat untuk saya mengevaluasi diri saya. Ada keadaan yang tidak pas dan tentunya perlu diperbaiki. Sebagai awal, dengan langkah sedikit ekstrim, saya coba paksakan menarik diri dari sosial media — sepenuhnya. Meng-uninstall aplikasi, silent notifikasi handphone dan sesedikit mungkin mengecek handphone. Hanya seperlunya saja melihat, pada jam-jam dan keadaan tertentu. Awalnya memang sulit — sangat sulit. Saya biarkan diri saya menikmati prosesnya. Install-uninstall aplikasi, on-off handphone, dan hal-hal absurd lainnya masih sering saya lakukan dalam bulan pertama. Sampai kewarasan saya kembali dengan sendirinya seiring dengan menipisnya kuota internet — terlalu sering download aplikasi — dan ketakutan saya kalau handphone saya rusak karena terlalu sering di-on-off kan.
Menariknya, saya sekarang punya banyak waktu dan perhatian untuk menghafal nama-nama kuda poni, anggota Teen Titans dan teman-teman Tayo. Bekal berinteraksi dengan si konyel.