DITAKUTI ATAU DIHORMATI?
Beberapa hari yang lalu, saya mendengarkan Bapak yang berkeluh kesah tentang keponakan saya yang dalam hal ini adalah cucunya. Yang selanjutnya saya sebut dia dengan si konyel. Si konyel ini anak yang aktif dengan ke-kepoan tingkat dewa. Apa saja ditanyakan. Termasuk mempertanyakan ketidaksesuaian apa yang dikatakan oleh orang-orang sekitarnya dengan apa yang mereka lakukan. Kenapa kok begitu, kemarin katanya tidak boleh begitu. Modyar.
Bapak merangkum semua itu dalam satu kata sifat, ngeyelan (suka membantah). Sebagai orang yang lahir di tahun 90-an, saya akrab dengan cubitan atau jeweran di telinga. Saya atau sebagian besar generasi saya, dididik dengan dogmatis. Kepatuhan saya berasal dari ketakutan akan hukuman. Bukan karena pemahaman atas konsekuensi sebuah perbuatan.
Di zaman dengan segala informasi yang mudah diakses, bahkan oleh anak kecil sekalipun, pola asuh yang mengajarkan kepatuhan dan ketakutan buta tidak akan tepat. Mereka akan dengan mudah mencari dan mendapatkan informasi yang mereka perlukan. Alih-alih marah atau tidak sabar dengan segala pertanyaan si konyel, kami para orang-orang dewasa dan tua ini harusnya lebih banyak belajar dan telaten dalam meladeni segala ke-kepoannya. Dengan tidak melupakan ketegasan dalam batasan-batasan apa yang boleh dan tidak doleh diakses karena pertimbangan usia dan kesiapan anak.
Jadi, lebih memilih ditakuti atau dihormati? Tentu saja saya lebih memilih disayang.