Dan Tuhan pun saya dikte

Nisaluthfi
2 min readApr 22, 2021

--

Saya pikir saya ini lebih tahu yang terbaik untuk saya dan masa depan saya melebihi ke-Maha TahuanNya. Sehingga yang sering saya lakukan adalah seakan-akan sepertinya saya berdoa. Padahal yang sebenarnya saya lakukan adalah mendikteNya agar mengabulkan keinginan saya. Dia tidak lebih dari pengabul keinginan.

Seperti orangtua mendidik anaknya, ada semacam tingkatan. Pertama-tama, diingatkan dengan halus penuh kasih sayang, misalnya dengan kesialan-kesialan kecil yang terjadi. Kalau masih belum bisa menyadari dan mengambil pelajaran, tingkatannya dinaikkan dengan diteriaki, dengan kesialan-kesialan yang levelnya lebih nggapleki. Kalau masih belum juga, mungkin memang minta dipukul. Tingkatannya naik dari level kesialan menjadi level musibah. Dan seterusnya sampai sadar, bisa mengambil pelajaran, dan menjadi lebih baik.

Begitulah sejatinya Tuhan mendidik hamba-hambaNya. Dia Maha Kasih Sayang, namun yang seringnya terjadi adalah keluputan dan kelalaian dalam mengambil pelajaran ketika Dia mengingatkan dalam kesialan-kesialan kecil. Sehingga yang sering dirasakan adalah murkaNya dalam bentuk musibah.

Dia Maha Penolong. Sejatinya Dia tidak pernah meninggalkan begitu saja hambaNya setelah memberikan peringatan. Tidak tegaan. Itulah yang selama ini saya rasakan dalam melalui kesialan-kesialan hidup, pertolongan dan kemudahan-kemudahan dariNya tidak pernah abstain. Selalu ada.

Karena rasa cintaNya yang begitu besar pada saya, saya tidak berani lagi mendikteNya. Sungkan dan kapok!

Memang belum konsisten, masih jauh. Namun, setiap diri ini mulai merasa kemeruh, saya ajukan pertanyaan ini

Bagaimana kamu tahu kalau itu baik bagimu? Sudah bisa melihat masa depan? Lha wong 5 menit lagi masih bernapas atau tidak, kamu tidak tahu kok?!Tidak ingatkah terakhir kali kamu bersikap seperti itu dan hasilnya njeblus?

Sehingga saya lebih senang dan nyaman bersikap manja dan bermesraan saja denganNya. Nyaman dalam meminta, nyaman dalam mengadukan segalanya, berkeluh kesah. Apapun itu.

Mengemis-ngemis, mengerih-erih, memaksa dengan penuh kemanjaan saya pikir memang hanya pantas dilakukan kepadaNya.

Setiap orang memiliki misteri hidup atau pertanyaan-pertanyaan dalam hidupnya yang belum atau tidak terjawab. Mungkin suatu saat terjawab, mungkin juga selamanya tidak. SeberkenanNya.

Bukan hal yang mudah dilakukan. Terutama untuk tipe orang yang selalu mempertanyakan alasan dibalik sebuah perilaku atau kejadian. Kenapa seperti ini? Mengapa seperti itu? Yang naasnya, tidak selalu ada jawabannya. Rasanya seperti melakukan kepatuhan buta. Atau kata lainnya manut wae.

Namun begitulah hidup, yang bisa terus diusahakan adalah menjalaninya dengan sepenuh hati seperti kata Letto dalam Sandaran Hati. Karena memang hanya Dia Yang Maha Tahu, sebagai seorang hamba, saya hanya bisa pasrah dan manut mawon sendiko dawuh.

Lain halnya dengan hubungan sesama manusia. Menurut saya, yang paling pas adalah berlaku sewajarnya. Sewajarnya manusia memperlakukan manusia. Berlaku kepada sesama sewajarnya bagaimana diri ini ingin diperlakukan. Kalau saya bisa merasakan sakit, tentu orang lain juga bisa. Begitu pula untuk perasaan-perasaan lainnya. Menjadikan diri sendiri sebagai tolak ukur.

Jadi, kalau ketemu manusia diktator yang segala perilaku dan keinginannya maunya dituruti dan tidak mau dipertanyakan, tanyakan saja padanya

Sampean siapa? Tuhan?

--

--

Nisaluthfi
Nisaluthfi

Written by Nisaluthfi

𝘸𝘳𝘪𝘵𝘪𝘯𝘨 tresno jalaran soko kulino

No responses yet